Minggu, 25 September 2011
salah satu cerpen yang paling aku sukaaaa \o/
“Ayu, kamu tuh pernah nyadar nggak, sih? Sekali saja seumur hidup lu! Please. Topan itu Hiu! Ibarat piramida makanan, Topan itu ada di puncaknya. Sedangkan lu persis berada di strata terbawah rantai makanan tersebut. “ Aku berseru jengkel. Melempar sapu-tangan.
“Sudah berapa banyak coba cewek lain yang dipermainkan cinta gombal Topan. Dia emang ganteng! Pandai sekali bicara. Romantis. Apa yang lu bilang? Dia tipe cowok yang sempurna. Itu benar. Tapi, aduh, kalau lu mau sedikit berpikir waras, lihatlah! Semua kehebatan Topan yang lu sebut-sebut mirip banget dengan tabiat playboy kelas internasional! Lu cuma jadi mangsa isengnya doang!” Aku menatap setengah prihatin, setengah sebal, setengah kasihan (eh, totalnya jadi satu setengah ya? Harusnya sepertiga prihatin, sepertiga sebal dan sepertiga kasihan, hihi!).
Ayu masih menangis pelan di hadapanku. Sedih nian mendengar ceramahku (apalagi di bagian yang bilang-bilang perangai buruk Topan). Ayu menyeka ujung-ujung matanya dengan sapu tangan. Tertunduk.
“Coba lu hitung! Ini untuk berapa kalinya Topan nyakitin lu? Minggu lalu lu harus nunggu dia dua jam. Dia nggak datang. Dua minggu lalu dia juga bikin lu nunggu dua jam. Dia nggak datang! Juga minggu-minggu lalu. Apa alasannya? Lupa! Ada keperluan keluarga. Kakinya bisulan. Inilah! Itulah! Ampun, lu mudah banget menerima permintaan maafnya. Mudah banget mengangguk menerima penjelasannya. Anak kecil saja nggak segitunya kalau lagi ditipu Ibunya biar nggak ikut pergi, mereka pasti protes, pasti merajuk! Lu? Sempurna menerima, lantas terkulai lemah tak berdaya penuh penghargaan saat Topan lembut mendekap bahu lu! Bah!” Ceramahku semakin panjang.
Ayu tertunduk semakin dalam.
“Cukup! Cukup sampai malam ini saja lu nangis buat dia. Hapus air-mata lu. Lu pikir setelah berkali-kali nyakitin lu, terus balik lagi, nyakitin lu lagi, balik lagi, dan seterusnya, semua ini akan berakhir baik seperti yang lu bayangkan? NGGAK! Gw udah bosan lihat lu seperti ini. Lu pikir Topan sekarang lagi sibuk mikirin lu di saat lu sibuk nangisin dia? NGGAK! Lu lihat sendiri tadi, dia asyik berduaan dengan cewek lain di kafe town-square! Lu lihat dengan mata-kepala lu sendiri. Itu bukan gosip seperti yang lu yakini selama ini. Itu nyata! Topan mempermainkan lu. Jadi cukup! Nih, HP gw, telepon Topan sekarang! Teriak, KITA PUTUS, PENJAHAT!” Aku yang macam ketel air berdengking tanda kelewat panas di atas kompor, melempar HP ke Ayu.
Ayu lemah mengambil HP yang tergeletak di sela-sela bantal. Mengangkat kepalanya. Menatapku. Aku mengangguk meyakinkannya. “Hidupkan loudspeaker-nya! Gw pengin dengar suara penjahat itu!” Aku mendesis. Menyemangati.
Ayu menggigit bibir. Setelah sejenak tertunduk lagi, bergetar tangannya menekan nomor telepon Topan.
Aku menyeringai, akhirnya Ayu berani juga!
“Maaf, sisa pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini. Harap lakukan isi-ulang. Tut! Tut! Tut!”
Bengong! Ayu menatapku kosong. Mukaku memerah.
***
Terlepas dari urusan sisa pulsa HP-ku, sepanjang minggu ini Ayu tetap tidak berhasil menghubungi Topan. Tepatnya ia kembali ragu. Kembali berpikir ulang. “Aku harap dia akan berubah, Dian….” Berkata pendek, menyela ceramahku di hari lainnya. “Semua orang pasti berubah, kan?” Berkata pendek lagi. “Dia pasti akan meneleponku, menjelaskan siapa cewek itu, paling hanya saudaranya!” Tertunduk.
Dan di antara banyak dugaan Ayu yang keliru, Ayu memang benar soal Topan pasti akan meneleponnya. Malam itu, Topan dengan suara khas menyebalkan mengajak bertemu. Janjian makan malam. “Kita akan makan di tempat pertama kali dulu aku mengenalmu, yang!” Dan Ayu langsung terkapar KO mendengar buncah romantisme tepu-tepu Topan. Sama sekali tidak memedulikan aku yang menyarankannya menolak ajakan gombal tersebut.
Ayu malah berseru senang menatapku. “Lihat, kan! Akhirnya Topan akan menjelaskan banyak hal!” Ya ampun! Ayu persis seperti anak kecil yang ngotot banget ingin ikut Ibunya ke pasar, dan sedikit pun nggak nyadar kalau sudah ditipu. Hanya dikasih permen, terdiam, sementara Ibunya sudah ngabur ke pasar.
“Gw harap lu malam ini sempat bertanya tentang siapa cewek di kafe town-square itu! Gw harap di tengah-tengah lu mabuk akan kalimat gombal Topan, lu sempat meminta penjelasan….” Aku menatap datar Ayu, melepasnya di depan pintu kostan. Ayu hanya tersenyum. Entah mendengarkan atau tidak pesan-pesanku.
Tapi bagaimanalah Ayu akan ingat pesan itu? Sempurna makan malam mereka seperti kencan-kencan hebat mereka sebelumnya. Topan melayani Ayu bak Putri Kerajaan. Mencium lembut punggung tangan Ayu. Menarikkan kursi buat Ayu. Menuangkan minuman buat Ayu. Mengiriskan steak buat Ayu. Lantas menatap Ayu seperti satu-satunya kekasih dunia-akheratnya. Seperti Ayu satu-satunya cewek di dunia ini. Jadi bagaimanalah Ayu akan ingat semua dusta dan sakit hati itu?
Ayu malam itu merasa wanita paling beruntung se-dunia. Bisa mendapatkan Topan yang ganteng dan segalanya. Jadi apa pula gunanya bertanya tentang cewek yang dilihatnya bersama Topan minggu lalu. Hanya merusak kebersamaan mereka yang indah. Kebersamaan mereka yang menyenangkan.
Hanya saja, malam itu urusan tidak berjalan normal seperti lazimnya, di tengah-tengah kalimat bermajas tinggi Topan, di tengah-tengah belaian lembut tangannya, cewek yang dilihat Ayu minggu lalu bersamanya menyeruak masuk ke restoran. Dan amat marahlah cewek itu saat melihat Topan sedang memegang mesra tangan Ayu. Berteriak tanpa tedeng aling-aling, “Dasar penjahat! BAJINGAN!!” Cewek itu memang tidak seperti Ayu yang mudah sekali mengalah. Cewek itu marah, malah berani menampar Topan sebelum pergi.
Lengang. Restoran itu menjadi lengang.
Wajah-wajah yang tertoleh. Topan yang memerah sambil memegangi pipinya. Pelayan yang terhenti mengantarkan makanan. Dan Ayu yang membeku di kursinya. Semua itu sungguh benar. Itu bukan gosip. Hei! Ia bahkan selama ini tahu sekali semua itu sungguh benar….
***
“Aku…. Aku memang sering menyakitimu selama ini, yang…. Aku memang sering berbohong!” Lemah suara Topan memecah kesunyian. Tertunduk. Hilang sudah wajah tampan itu, berganti wajah memelas.
“Aku memang playboy, yang! Aku memang penjahat!” Suara Topan semakin tertahan.
Ayu mengelap ujung-ujung matanya.
Menatap lamat-lamat Topan yang tertunduk.
“Kau tidak tahu betapa menyakitkannya menjadi playboy. Menjadi penjahat…. Aku dari dulu ingin sekali menghilangkan tabiat buruk itu…. Ingin sekali mengenyahkannya, tapi tidak bisa…. Aku sungguh tidak bisa. Itu seperti penyakit, seperti ketergantungan,” Topan mengangkat wajahnya. Lihatlah, wajah itu terlihat sendu, penuh penyesalan.
“Setiap kali aku mengkhianatimu, setiap kali tidak menepati janji-janji kita, setiap kali membuatmu menunggu, aku selalu merasa sakit di hati! Sakiiiit. Aku sungguh tidak ingin melakukannya, tapi aku tidak bisa! Tidak bisa, yang! Seperti malam ini, aku sakit sekali melihat kau yang menatapku marah, menatapku tidak percaya…. Benar aku memang playboy, aku memang penjahat, bajingan….”
Ayu menatap lemah wajah Topan.
“Andaikata ada wanita yang mau menemaniku melalui masa-masa buruk ini…. Menemaniku menyembuhkan tabiat buruk ini…. Membantukan mengenyahkan penyakit ini….”
Ayu semakin lemah menatap wajah Topan.
“Andaikata kau yang amat kucintai mau menemaniku memperbaiki diri, merubah kelakuan buruk itu….”
Ya ampun! Ayu sudah buru-buru mengangguk. Menggenggam jemari Topan kencang-kencang. Tersenyum penuh penghargaan.
***
Sayangnya, apa yang aku bilang benar. Apa yang diketahui Ayu selama ini juga benar. Hal buruk terjadi lagi. Sebulan kemudian setelah percakapan hebat itu, Ayu kembali menangis. Kali ini Topan tega nian lalai menepati janji malam-minggu mereka. Membuatnya menunggu berjam-jam di depan town-square. Yang ditunggu malah asyik berjalan berduaan dengan gebetan baru. Aku yang melihatnya tak sengaja di taman-kota melaporkan ke Ayu larut malam.
“Lu tuh hanya zooplankton, Ayu! Lihat ini, zooplankton di makan oleh ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan besar akhirnya dimakan oleh Hiu! Lu persis berada di strata terbawah piramida makanan!” Aku mendesis, sekali lagi membawa keahlian teknisku sebagai peneliti di marine-biologist center.
“Dia pasti berubah….” Ayu berkata lemah.
“Berubah dari Hongkong!” Aku menjawab galak, “Kalau Topan akhirnya kapok dan benar-benar berubah, gw bersumpah akhirnya akan pacaran dengan cowok!”
Ayu menyeringai, kalau demikian itu sumpah yang serius. Ayu tahu sekali aku seumur-umur hidup membenci cowok. Ah, pertemananku dengan Ayu memang ganjil. Ayu sepanjang umurnya hanya dipermainkan buaya darat, aku sepanjang usiaku sibuk memasang perangkap lima lapis agar tak satu pun buaya mendekat. Saking membencinya.
Dulu pertemanan geng cewek kami berjumlah enam. Empat teman lainnya sudah sejak dua tahun silam pindah satu-persatu. Menikah. Ada yang ikut suaminya. Ada yang pindah karena urusan pekerjaan. Tinggallah aku dan Ayu berdua dengan masalah masing-masing.
Terus-terang, malas sekali aku harus menemani Ayu yang kembali menangis, kembali bersedih. Lantas seminggu kemudian terlihat riang lagi. Bersemangat lagi. Begitu saja hampir setahun terakhir ini. Naik-turun. Kalau ada istilah cukup satu kali kehilangan tongkat untuk orang-orang yang membuat kesalahan, maka Ayu sungguh cewek terbodoh yang pernah ada di dunia. Lah, tongkat yang dihilangkannya sudah bisa dibuat pagar sepanjang satu kilo, saking tidak kapok-kapoknya ia dipermainkan Topan. Bagiku urusan ini amat sederhana, lebih baik sendiri selamanya dibandingkan sibuk mencoba memahami cowok-cowok sialan tersebut.
Di penghujung tahun, aku mendadak dipindah-tugaskan ke Kepulauan Natuna. Pindah. Setelah hampir enam tahun kebersamaan kami. Empat tahun masa-masa kuliah. Dua tahun setelah sibuk merintis karir masing-masing.
“Gw harap lu akhirnya realized sesuatu, sebelum semuanya terlambat, my best friend!” Aku memeluk erat Ayu di lobby keberangkatan bandara. Menatap lembut.
“Dia akan berubah…. Topan pasti berubah!” Ayu berbisik lemah, membalas pelukan.
Aku hanya tertawa pelan.
“Lu selalu bisa kontak gw. Lewat telepon, email, atau apalah. Lu bisa selalu curhat ke gw, meski gw selama ini bete-nya minta ampun dengar curhat lu yang itu-itu doang!” Aku mencoba bergurau, tersenyum.
Ayu mengangguk. Melepas pelukan.
“Gw harap lu juga menemukan seseorang di sana! Menemukan pasangan hidup….” Ayu berkata pelan.
Aku tertawa lebih lebar. Nyengir. No way! Bagiku cowok selalu menyebalkan. Dulu iya, sekarang juga masih. Entah itu dimana saja. Termasuk di Natuna, kepulauan terpencil di ujung Nusantara sana. Lebih baik aku pacaran dengan flora-fauna lautan. Setidaknya penyu hijau jauh lebih setia dibandingkan Topan dan cowok bajingan lainnya!
Pagi itu, untuk terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayu. Juga untuk terakhir kalinya kami berbincang-bincang tentang Topan. Entah kenapa sejak kepindahanku ke Kepulauan Natuna, Ayu benar-benar tidak lagi membicarakan soal Topan. Enam bulan pertama kami masih sering berhubungan via email, tapi Ayu sedikit pun tidak menyinggung tentang Topan. Lepas enam bulan itu, sempurna kami kehilangan kontak. Entahlah, mungkin Ayu sudah jauh-jauh hari merelakan kepergian Topan, begitu aku membenak. Jadi Ayu merasa tidak perlu lagi curhat kepadaku. Keluhan yang seperti kaset tua tak-bosan diputar berulang-ulang.
Mungkin Ayu akhirnya menyadari cinta zooplankton-nya terlalu suci buat Hiu yang galak dan ganas. Tahukah kalian? Meski zooplankton itu tergolong hewan, mereka tidak pernah memangsa mahkluk hidup lainnya. Merekalah satu-satunya hewan di dunia yang tidak membunuh mahkluk lain untuk urusan isi perut, bahkan rumput laut pun tidak. Zooplankton sempurna makan dari hasil fotosintesis matahari. Kemudian memasrahkan diri dimakan oleh ikan-ikan kecil. Zooplankton selalu setia sampai kapan pun menjadi rantai terbawa dalam piramida makanan.
Tetapi dalam urusan cinta ini, tidak seharusnya Ayu menjadi zooplankton-nya Topan. Teman dekatku itu terlalu baik untuk Topan, sang Hiu. Terlalu polos memandang sebuah cinta. Selalu menerima apa-adanya. Ayu sejak dulu selalu meyakini dan berharap cinta yang ia miliki cukup untuk memperbaiki banyak hal, merubah banyak tabiat buruk. Padahal, cinta zooplankton Ayu sama sekali tidak cukup untuk Topan, sang penguasa rantai makanan.
***
Tanpa terasa sempurna dua tahun berlalu.
Pesawat yang membawaku kembali dari Kepulauan Natuna mendarat mulus di bandara ibukota. Setelah terbenam lama dengan seluruh penelitian di dasar lautan, aku dapat jatah cuti sebulan. Minggu lalu, aku juga akhirnya berhasil menghubungi Ayu. Kangen.
“Sibuk, Dian! Gw lagi sibuk banget belakangan. Tapi aku pasti menyempatkan diri menjemput lu! Pasti! Meski itu hal terakhir yang harus gw lakukan di dunia ini….” Ayu bergurau di ujung pesawat telepon sana.
Terdengar amat riang.
Aku ikut tersenyum, sambil memandang sunset di atas marine-biologist center Kepulauan Natuna yang persis berada di tengah-tengah lautan. Ah, kalau mendengar intonasi suara Ayu, itu pertanda setidaknya teman terbaikku sedang bahagia. Mungkin Ayu sedang bahagia dengan kesibukan barunya. Aku urung bertanya apa kesibukan barunya sekarang. Hanya bilang jadwal kedatanganku. Kemudian menutup pembicaraan. Lihatlah, matahari perlahan tenggelam di kaki cakrawala. Membuat gumpalan awan putih terlihat memerah.
Indah. Memesona.
Tentang Topan, sang playboy yang singgah dalam kehidupannya pasti sudah lama tertinggal. Sudah selesai. Mungkin akhirnya Ayu menyadari buat apa ia bersikukuh?
Tidak akan pernah Topan berubah. Kalau itu terjadi, berarti dunia sudah terbolak-balik. Itu berarti aku juga harus segera menarik kesimpulanku tentang lelaki selama ini. Menebus sumpah untuk pacaran. Pacaran? Aku mendengus. Itu tidak akan pernah terjadi. Mengusap wajah. Tersenyum getir. Permukaan air laut yang menjingga, memantulkan siluet keren ke seluruh bangunan modern pusat-penelitian kelautan.
Benar-benar pemandangan yang hebat.
Tetapi itu hanyalah pemandangan yang hebat seminggu lalu, saat aku menelepon Ayu mengabarkan kepulangan. Pagi ini, aku yang berdiri persis di lobi kedatangan bandara benar-benar melihat pemandangan yang jauh lebih hebat.
Ya Tuhan? Apa maksudnya?
Lihatlah, Ayu tengah repot menggendong bayi berumur satu tahun. Juga Topan? Ya ampun? To-pan? Aku mendesis tidak percaya. Apa tidak salah lihat. Mengusap mata. Benar! Topan sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka.
“Selamat datang, my best friend!” Ayu berseru menyambut.
Tersenyum amat riang. Berkata amat riang. Lihatlah, wajah Ayu terlihat bercahaya oleh kebahagiaan. Topan? Topan juga tersenyum amat riangnya, tak-kalah senangnya menyambut.
“Sorry, dulu nggak sempat ngabarin nikahnya…. Gimana mau sempat. Gw kehilangan seluruh nomor kontak lu setelah pindah kost-an baru. Bete tinggal di kostan lama setelah lu pindah ke Natuna. Sepi! Jadi gw pindah…. Ah-ya, ini anak kembar gw…. Yang ini namanya, eh, namanya Dian… Gw sama Topan sepakat pakai nama lu, nggak pa-pa, kan? Yang satu namanya Dina….” Buncah Ayu menjelaskan banyak hal.
Sementara aku menatap ekspresi keluarga kecil mereka dengan tatapan kosong. Tidak percaya. Mereka menikah?
“Ayo Dian, cayang, itu Tante Dian! Teman terbaik Mama. Aduh, akhirnya lu menghubungi gw…. Gw suddah lama banget nyari kontak ke pusat penelitian itu. Kangen sama lu…. Ah-ya, gw sibuk belakangan…. Sibuk ngurusin anak-anak. Lu terlihat semakin cantik, semakin ramping, Dian…. Sudah punya pacar, belum?”
Ayu dan Topan tertawa bareng.
Ya Tuhan? Aku membeku, sama sekali tidak mendengar pertanyaan bergurau Ayu barusan…. Mereka sudah menikah? Mereka malah sudah punya dua anak kembar yang ampun sungguh menggemaskan. Aku gemetar ingin menggendong Dian. Anak kecil itu menggeliat dalam pelukan Ayu, tersenyum lebar ke arahku. Aduh, lutuna!
“Kalian…. Kalian menikah?” Hanya itu sepotong kalimat yang keluar dari mulutku lima menit kemudian.
“Tentu saja! Lah, ini anak siapa lagi?” Ayu tertawa. Menyerahkan Dian ke tanganku yang terjulur.
“Maksudku…. Maksudku…. Bukankah Topan….” Aku ragu-ragu melirik Topan. Dian dalam pelukanku jahil menarik syal. Menyeringai menggemaskan.
“Topan sudah berubah!” Ayu tersenyum.
“Bagaimana mungkin?” Aku bahkan tidak menyadari kalau seruanku barusan sama sekali tidak sopan.
“Aku keliru….” Topan yang menjawab, tersenyum lebar kepadaku, “Aku benar-benar menyia-nyiakan cinta Ayu selama ini…. Kau tahu, saat aku akhirnya menyadari betapa besar cintanya, saat itu aku merasa malu sekali….”
Maka berceritalah Topan. Sebulan setelah kepergianku, terjadilah pertengkaran mereka. Pertengkaran yang hebat. Sekali ini Ayu benar-benar tersakiti oleh tabiat Topan. Tega Topan berteriak kalau Ayu hanya “pacar transisi” baginya. Hanya singgah sebentar sebelum mendapatkan cewek lainnya. Transit. Tidak lebih. Tidak kurang. Benar-benar pembicaraan yang menyakitkan. Ayu tersungkur. Kesedihan mendalam. Bahkan hampir memutuskan untuk pergi melupakan Topan.
Tiga bulan berlalu, entah apa pasalnya, Topan sang playboy kelas internasional tertimpa musibah berkali-kali. Mungkin karma dari kelakuannya. Topan jatuh sakit berkepanjangan. Sakit yang serius, bahkan nyaris membunuhnya. Tubuh Topan berubah kurus-kering menyedihkan, wajahnya yang tampan tinggal muka tirus kehilangan cahaya. Dan itu belum cukup, Topan juga kehilangan pekerjaan, kehilangan seluruh materi untuk mengobati sakitnya.
Enam bulan terbaring lemah di rumah sakit, tidak ada satupun gadis-gadis itu yang mengunjunginya. Hanya Ayu. Ayu yang akhirnya tetap yakin, suatu saat Hiu-nya pasti berubah. Ayu yang tetap yakin, cinta yang dimilikinya lebih dari cukup untuk merubah tabiat Topan. Siang-malam Ayu merawat Topan dengan telaten. Merawat dengan penuh kasih-sayang. Merawat tanpa mengharapkan pamrih apapun.
“Malam itu, hampir pukul 02.00, aku terbangun…. Dengan nafas sesak, dengan tubuh sakit…. Sudah lebih tiga bulan aku terbaring tak berdaya di atas ranjang…. Kau tahu, malam itu aku bagai melihat seorang bidadari…. Sungguh! Bagai melihat malaikat cantik yang dikirimkan Tuhan kepadaku!” Topan meneruskan cerita sambil menyeka ujung matanya, memeluk mesra Ayu yang berdiri di sebelah.
“Malaikat cinta itu adalah Ayu yang tertidur…. Ayu yang tertidur di sisiku. Kepalanya ada di atas ranjang. Duduk di kursi plastik. Tangannya menggenggam tanganku…. Ya Tuhan, malam itu aku malu sekali…. Melihat wajah Ayu yang bercahaya oleh cinta…. Bercahaya oleh kesabaran…. Menungguiku siang-malam tanpa lelah…. Ya Tuhan, aku malu sekali….” Topan sekarang benar-benar menyeka ujung matanya. Terharu mengenang kejadian tersebut.
“Sudahlah, tidak usah dibicarakan lagi, yang!” Ayu mendekap mesra, berusaha mengambil bayi kembar dari gendongan Topan (yang sekarang terlihat amat repot. Gimana nggak? Topan sibuk mengendalikan harunya sambil menggendong bayi mereka).
“Sejak malam itu aku baru menyadari betapa keliru aku menterjemahkan cinta-polos Ayu, cinta-tanpa-berharap darinya….” Topan berkata dengan suara tertahan. Menatap lembut wajah Ayu. Begitu menghargai….
Entahlah! Aku sudah tidak mendengarkan lagi ujung kalimat Topan. Otakku mendadak dipenuhi berbagai hal. Ya ampun? Lihatlah mereka. Ternyata aku juga keliru selama ini…. Tentu saja semua orang bisa berubah. Tentu saja cinta yang besar bisa menjadi energi untuk membuat perubahan tersebut. Sumpah itu? Apakah aku akan menarik pemahamanku selama ini? Aku mendesis pelan dalam hati.
Lihatlah, jika demikian adanya, maka hanya aku di antara teman-teman geng cewek kami dulu yang belum menikah…. Hanya tersisa aku…. Sendiri….
“Mari zooplankton kecilku, nggak mungkin kita membuat Dian berdiri lama di sini setelah perjalanan panjangnya, kan….” Topan mendekap mesra istrinya.
Membantu mendorong trolley-ku.
Aku bengong. Hei? Apa barusan.
“Ah-ya, lu belum tahu, Topan sekarang memanggilku dengan zooplankton kecil. Dan gw memanggilnya dengan sebutan Hiu besar!” Ayu yang menjelaskan. Tertawa renyah.
Bah? Aku benar-benar terperangah!
Lantas aku apa? Cillean Filleta? Mahkluk yang tidak memerlukan pasangan untuk be-reproduksi selama hidupnya? Mahkluk yang ditakdirkan jomblo sepanjang usianya? Hiks!
***
by: darwis tere liye :)
“Ayu, kamu tuh pernah nyadar nggak, sih? Sekali saja seumur hidup lu! Please. Topan itu Hiu! Ibarat piramida makanan, Topan itu ada di puncaknya. Sedangkan lu persis berada di strata terbawah rantai makanan tersebut. “ Aku berseru jengkel. Melempar sapu-tangan.
“Sudah berapa banyak coba cewek lain yang dipermainkan cinta gombal Topan. Dia emang ganteng! Pandai sekali bicara. Romantis. Apa yang lu bilang? Dia tipe cowok yang sempurna. Itu benar. Tapi, aduh, kalau lu mau sedikit berpikir waras, lihatlah! Semua kehebatan Topan yang lu sebut-sebut mirip banget dengan tabiat playboy kelas internasional! Lu cuma jadi mangsa isengnya doang!” Aku menatap setengah prihatin, setengah sebal, setengah kasihan (eh, totalnya jadi satu setengah ya? Harusnya sepertiga prihatin, sepertiga sebal dan sepertiga kasihan, hihi!).
Ayu masih menangis pelan di hadapanku. Sedih nian mendengar ceramahku (apalagi di bagian yang bilang-bilang perangai buruk Topan). Ayu menyeka ujung-ujung matanya dengan sapu tangan. Tertunduk.
“Coba lu hitung! Ini untuk berapa kalinya Topan nyakitin lu? Minggu lalu lu harus nunggu dia dua jam. Dia nggak datang. Dua minggu lalu dia juga bikin lu nunggu dua jam. Dia nggak datang! Juga minggu-minggu lalu. Apa alasannya? Lupa! Ada keperluan keluarga. Kakinya bisulan. Inilah! Itulah! Ampun, lu mudah banget menerima permintaan maafnya. Mudah banget mengangguk menerima penjelasannya. Anak kecil saja nggak segitunya kalau lagi ditipu Ibunya biar nggak ikut pergi, mereka pasti protes, pasti merajuk! Lu? Sempurna menerima, lantas terkulai lemah tak berdaya penuh penghargaan saat Topan lembut mendekap bahu lu! Bah!” Ceramahku semakin panjang.
Ayu tertunduk semakin dalam.
“Cukup! Cukup sampai malam ini saja lu nangis buat dia. Hapus air-mata lu. Lu pikir setelah berkali-kali nyakitin lu, terus balik lagi, nyakitin lu lagi, balik lagi, dan seterusnya, semua ini akan berakhir baik seperti yang lu bayangkan? NGGAK! Gw udah bosan lihat lu seperti ini. Lu pikir Topan sekarang lagi sibuk mikirin lu di saat lu sibuk nangisin dia? NGGAK! Lu lihat sendiri tadi, dia asyik berduaan dengan cewek lain di kafe town-square! Lu lihat dengan mata-kepala lu sendiri. Itu bukan gosip seperti yang lu yakini selama ini. Itu nyata! Topan mempermainkan lu. Jadi cukup! Nih, HP gw, telepon Topan sekarang! Teriak, KITA PUTUS, PENJAHAT!” Aku yang macam ketel air berdengking tanda kelewat panas di atas kompor, melempar HP ke Ayu.
Ayu lemah mengambil HP yang tergeletak di sela-sela bantal. Mengangkat kepalanya. Menatapku. Aku mengangguk meyakinkannya. “Hidupkan loudspeaker-nya! Gw pengin dengar suara penjahat itu!” Aku mendesis. Menyemangati.
Ayu menggigit bibir. Setelah sejenak tertunduk lagi, bergetar tangannya menekan nomor telepon Topan.
Aku menyeringai, akhirnya Ayu berani juga!
“Maaf, sisa pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini. Harap lakukan isi-ulang. Tut! Tut! Tut!”
Bengong! Ayu menatapku kosong. Mukaku memerah.
***
Terlepas dari urusan sisa pulsa HP-ku, sepanjang minggu ini Ayu tetap tidak berhasil menghubungi Topan. Tepatnya ia kembali ragu. Kembali berpikir ulang. “Aku harap dia akan berubah, Dian….” Berkata pendek, menyela ceramahku di hari lainnya. “Semua orang pasti berubah, kan?” Berkata pendek lagi. “Dia pasti akan meneleponku, menjelaskan siapa cewek itu, paling hanya saudaranya!” Tertunduk.
Dan di antara banyak dugaan Ayu yang keliru, Ayu memang benar soal Topan pasti akan meneleponnya. Malam itu, Topan dengan suara khas menyebalkan mengajak bertemu. Janjian makan malam. “Kita akan makan di tempat pertama kali dulu aku mengenalmu, yang!” Dan Ayu langsung terkapar KO mendengar buncah romantisme tepu-tepu Topan. Sama sekali tidak memedulikan aku yang menyarankannya menolak ajakan gombal tersebut.
Ayu malah berseru senang menatapku. “Lihat, kan! Akhirnya Topan akan menjelaskan banyak hal!” Ya ampun! Ayu persis seperti anak kecil yang ngotot banget ingin ikut Ibunya ke pasar, dan sedikit pun nggak nyadar kalau sudah ditipu. Hanya dikasih permen, terdiam, sementara Ibunya sudah ngabur ke pasar.
“Gw harap lu malam ini sempat bertanya tentang siapa cewek di kafe town-square itu! Gw harap di tengah-tengah lu mabuk akan kalimat gombal Topan, lu sempat meminta penjelasan….” Aku menatap datar Ayu, melepasnya di depan pintu kostan. Ayu hanya tersenyum. Entah mendengarkan atau tidak pesan-pesanku.
Tapi bagaimanalah Ayu akan ingat pesan itu? Sempurna makan malam mereka seperti kencan-kencan hebat mereka sebelumnya. Topan melayani Ayu bak Putri Kerajaan. Mencium lembut punggung tangan Ayu. Menarikkan kursi buat Ayu. Menuangkan minuman buat Ayu. Mengiriskan steak buat Ayu. Lantas menatap Ayu seperti satu-satunya kekasih dunia-akheratnya. Seperti Ayu satu-satunya cewek di dunia ini. Jadi bagaimanalah Ayu akan ingat semua dusta dan sakit hati itu?
Ayu malam itu merasa wanita paling beruntung se-dunia. Bisa mendapatkan Topan yang ganteng dan segalanya. Jadi apa pula gunanya bertanya tentang cewek yang dilihatnya bersama Topan minggu lalu. Hanya merusak kebersamaan mereka yang indah. Kebersamaan mereka yang menyenangkan.
Hanya saja, malam itu urusan tidak berjalan normal seperti lazimnya, di tengah-tengah kalimat bermajas tinggi Topan, di tengah-tengah belaian lembut tangannya, cewek yang dilihat Ayu minggu lalu bersamanya menyeruak masuk ke restoran. Dan amat marahlah cewek itu saat melihat Topan sedang memegang mesra tangan Ayu. Berteriak tanpa tedeng aling-aling, “Dasar penjahat! BAJINGAN!!” Cewek itu memang tidak seperti Ayu yang mudah sekali mengalah. Cewek itu marah, malah berani menampar Topan sebelum pergi.
Lengang. Restoran itu menjadi lengang.
Wajah-wajah yang tertoleh. Topan yang memerah sambil memegangi pipinya. Pelayan yang terhenti mengantarkan makanan. Dan Ayu yang membeku di kursinya. Semua itu sungguh benar. Itu bukan gosip. Hei! Ia bahkan selama ini tahu sekali semua itu sungguh benar….
***
“Aku…. Aku memang sering menyakitimu selama ini, yang…. Aku memang sering berbohong!” Lemah suara Topan memecah kesunyian. Tertunduk. Hilang sudah wajah tampan itu, berganti wajah memelas.
“Aku memang playboy, yang! Aku memang penjahat!” Suara Topan semakin tertahan.
Ayu mengelap ujung-ujung matanya.
Menatap lamat-lamat Topan yang tertunduk.
“Kau tidak tahu betapa menyakitkannya menjadi playboy. Menjadi penjahat…. Aku dari dulu ingin sekali menghilangkan tabiat buruk itu…. Ingin sekali mengenyahkannya, tapi tidak bisa…. Aku sungguh tidak bisa. Itu seperti penyakit, seperti ketergantungan,” Topan mengangkat wajahnya. Lihatlah, wajah itu terlihat sendu, penuh penyesalan.
“Setiap kali aku mengkhianatimu, setiap kali tidak menepati janji-janji kita, setiap kali membuatmu menunggu, aku selalu merasa sakit di hati! Sakiiiit. Aku sungguh tidak ingin melakukannya, tapi aku tidak bisa! Tidak bisa, yang! Seperti malam ini, aku sakit sekali melihat kau yang menatapku marah, menatapku tidak percaya…. Benar aku memang playboy, aku memang penjahat, bajingan….”
Ayu menatap lemah wajah Topan.
“Andaikata ada wanita yang mau menemaniku melalui masa-masa buruk ini…. Menemaniku menyembuhkan tabiat buruk ini…. Membantukan mengenyahkan penyakit ini….”
Ayu semakin lemah menatap wajah Topan.
“Andaikata kau yang amat kucintai mau menemaniku memperbaiki diri, merubah kelakuan buruk itu….”
Ya ampun! Ayu sudah buru-buru mengangguk. Menggenggam jemari Topan kencang-kencang. Tersenyum penuh penghargaan.
***
Sayangnya, apa yang aku bilang benar. Apa yang diketahui Ayu selama ini juga benar. Hal buruk terjadi lagi. Sebulan kemudian setelah percakapan hebat itu, Ayu kembali menangis. Kali ini Topan tega nian lalai menepati janji malam-minggu mereka. Membuatnya menunggu berjam-jam di depan town-square. Yang ditunggu malah asyik berjalan berduaan dengan gebetan baru. Aku yang melihatnya tak sengaja di taman-kota melaporkan ke Ayu larut malam.
“Lu tuh hanya zooplankton, Ayu! Lihat ini, zooplankton di makan oleh ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan besar akhirnya dimakan oleh Hiu! Lu persis berada di strata terbawah piramida makanan!” Aku mendesis, sekali lagi membawa keahlian teknisku sebagai peneliti di marine-biologist center.
“Dia pasti berubah….” Ayu berkata lemah.
“Berubah dari Hongkong!” Aku menjawab galak, “Kalau Topan akhirnya kapok dan benar-benar berubah, gw bersumpah akhirnya akan pacaran dengan cowok!”
Ayu menyeringai, kalau demikian itu sumpah yang serius. Ayu tahu sekali aku seumur-umur hidup membenci cowok. Ah, pertemananku dengan Ayu memang ganjil. Ayu sepanjang umurnya hanya dipermainkan buaya darat, aku sepanjang usiaku sibuk memasang perangkap lima lapis agar tak satu pun buaya mendekat. Saking membencinya.
Dulu pertemanan geng cewek kami berjumlah enam. Empat teman lainnya sudah sejak dua tahun silam pindah satu-persatu. Menikah. Ada yang ikut suaminya. Ada yang pindah karena urusan pekerjaan. Tinggallah aku dan Ayu berdua dengan masalah masing-masing.
Terus-terang, malas sekali aku harus menemani Ayu yang kembali menangis, kembali bersedih. Lantas seminggu kemudian terlihat riang lagi. Bersemangat lagi. Begitu saja hampir setahun terakhir ini. Naik-turun. Kalau ada istilah cukup satu kali kehilangan tongkat untuk orang-orang yang membuat kesalahan, maka Ayu sungguh cewek terbodoh yang pernah ada di dunia. Lah, tongkat yang dihilangkannya sudah bisa dibuat pagar sepanjang satu kilo, saking tidak kapok-kapoknya ia dipermainkan Topan. Bagiku urusan ini amat sederhana, lebih baik sendiri selamanya dibandingkan sibuk mencoba memahami cowok-cowok sialan tersebut.
Di penghujung tahun, aku mendadak dipindah-tugaskan ke Kepulauan Natuna. Pindah. Setelah hampir enam tahun kebersamaan kami. Empat tahun masa-masa kuliah. Dua tahun setelah sibuk merintis karir masing-masing.
“Gw harap lu akhirnya realized sesuatu, sebelum semuanya terlambat, my best friend!” Aku memeluk erat Ayu di lobby keberangkatan bandara. Menatap lembut.
“Dia akan berubah…. Topan pasti berubah!” Ayu berbisik lemah, membalas pelukan.
Aku hanya tertawa pelan.
“Lu selalu bisa kontak gw. Lewat telepon, email, atau apalah. Lu bisa selalu curhat ke gw, meski gw selama ini bete-nya minta ampun dengar curhat lu yang itu-itu doang!” Aku mencoba bergurau, tersenyum.
Ayu mengangguk. Melepas pelukan.
“Gw harap lu juga menemukan seseorang di sana! Menemukan pasangan hidup….” Ayu berkata pelan.
Aku tertawa lebih lebar. Nyengir. No way! Bagiku cowok selalu menyebalkan. Dulu iya, sekarang juga masih. Entah itu dimana saja. Termasuk di Natuna, kepulauan terpencil di ujung Nusantara sana. Lebih baik aku pacaran dengan flora-fauna lautan. Setidaknya penyu hijau jauh lebih setia dibandingkan Topan dan cowok bajingan lainnya!
Pagi itu, untuk terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayu. Juga untuk terakhir kalinya kami berbincang-bincang tentang Topan. Entah kenapa sejak kepindahanku ke Kepulauan Natuna, Ayu benar-benar tidak lagi membicarakan soal Topan. Enam bulan pertama kami masih sering berhubungan via email, tapi Ayu sedikit pun tidak menyinggung tentang Topan. Lepas enam bulan itu, sempurna kami kehilangan kontak. Entahlah, mungkin Ayu sudah jauh-jauh hari merelakan kepergian Topan, begitu aku membenak. Jadi Ayu merasa tidak perlu lagi curhat kepadaku. Keluhan yang seperti kaset tua tak-bosan diputar berulang-ulang.
Mungkin Ayu akhirnya menyadari cinta zooplankton-nya terlalu suci buat Hiu yang galak dan ganas. Tahukah kalian? Meski zooplankton itu tergolong hewan, mereka tidak pernah memangsa mahkluk hidup lainnya. Merekalah satu-satunya hewan di dunia yang tidak membunuh mahkluk lain untuk urusan isi perut, bahkan rumput laut pun tidak. Zooplankton sempurna makan dari hasil fotosintesis matahari. Kemudian memasrahkan diri dimakan oleh ikan-ikan kecil. Zooplankton selalu setia sampai kapan pun menjadi rantai terbawa dalam piramida makanan.
Tetapi dalam urusan cinta ini, tidak seharusnya Ayu menjadi zooplankton-nya Topan. Teman dekatku itu terlalu baik untuk Topan, sang Hiu. Terlalu polos memandang sebuah cinta. Selalu menerima apa-adanya. Ayu sejak dulu selalu meyakini dan berharap cinta yang ia miliki cukup untuk memperbaiki banyak hal, merubah banyak tabiat buruk. Padahal, cinta zooplankton Ayu sama sekali tidak cukup untuk Topan, sang penguasa rantai makanan.
***
Tanpa terasa sempurna dua tahun berlalu.
Pesawat yang membawaku kembali dari Kepulauan Natuna mendarat mulus di bandara ibukota. Setelah terbenam lama dengan seluruh penelitian di dasar lautan, aku dapat jatah cuti sebulan. Minggu lalu, aku juga akhirnya berhasil menghubungi Ayu. Kangen.
“Sibuk, Dian! Gw lagi sibuk banget belakangan. Tapi aku pasti menyempatkan diri menjemput lu! Pasti! Meski itu hal terakhir yang harus gw lakukan di dunia ini….” Ayu bergurau di ujung pesawat telepon sana.
Terdengar amat riang.
Aku ikut tersenyum, sambil memandang sunset di atas marine-biologist center Kepulauan Natuna yang persis berada di tengah-tengah lautan. Ah, kalau mendengar intonasi suara Ayu, itu pertanda setidaknya teman terbaikku sedang bahagia. Mungkin Ayu sedang bahagia dengan kesibukan barunya. Aku urung bertanya apa kesibukan barunya sekarang. Hanya bilang jadwal kedatanganku. Kemudian menutup pembicaraan. Lihatlah, matahari perlahan tenggelam di kaki cakrawala. Membuat gumpalan awan putih terlihat memerah.
Indah. Memesona.
Tentang Topan, sang playboy yang singgah dalam kehidupannya pasti sudah lama tertinggal. Sudah selesai. Mungkin akhirnya Ayu menyadari buat apa ia bersikukuh?
Tidak akan pernah Topan berubah. Kalau itu terjadi, berarti dunia sudah terbolak-balik. Itu berarti aku juga harus segera menarik kesimpulanku tentang lelaki selama ini. Menebus sumpah untuk pacaran. Pacaran? Aku mendengus. Itu tidak akan pernah terjadi. Mengusap wajah. Tersenyum getir. Permukaan air laut yang menjingga, memantulkan siluet keren ke seluruh bangunan modern pusat-penelitian kelautan.
Benar-benar pemandangan yang hebat.
Tetapi itu hanyalah pemandangan yang hebat seminggu lalu, saat aku menelepon Ayu mengabarkan kepulangan. Pagi ini, aku yang berdiri persis di lobi kedatangan bandara benar-benar melihat pemandangan yang jauh lebih hebat.
Ya Tuhan? Apa maksudnya?
Lihatlah, Ayu tengah repot menggendong bayi berumur satu tahun. Juga Topan? Ya ampun? To-pan? Aku mendesis tidak percaya. Apa tidak salah lihat. Mengusap mata. Benar! Topan sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka.
“Selamat datang, my best friend!” Ayu berseru menyambut.
Tersenyum amat riang. Berkata amat riang. Lihatlah, wajah Ayu terlihat bercahaya oleh kebahagiaan. Topan? Topan juga tersenyum amat riangnya, tak-kalah senangnya menyambut.
“Sorry, dulu nggak sempat ngabarin nikahnya…. Gimana mau sempat. Gw kehilangan seluruh nomor kontak lu setelah pindah kost-an baru. Bete tinggal di kostan lama setelah lu pindah ke Natuna. Sepi! Jadi gw pindah…. Ah-ya, ini anak kembar gw…. Yang ini namanya, eh, namanya Dian… Gw sama Topan sepakat pakai nama lu, nggak pa-pa, kan? Yang satu namanya Dina….” Buncah Ayu menjelaskan banyak hal.
Sementara aku menatap ekspresi keluarga kecil mereka dengan tatapan kosong. Tidak percaya. Mereka menikah?
“Ayo Dian, cayang, itu Tante Dian! Teman terbaik Mama. Aduh, akhirnya lu menghubungi gw…. Gw suddah lama banget nyari kontak ke pusat penelitian itu. Kangen sama lu…. Ah-ya, gw sibuk belakangan…. Sibuk ngurusin anak-anak. Lu terlihat semakin cantik, semakin ramping, Dian…. Sudah punya pacar, belum?”
Ayu dan Topan tertawa bareng.
Ya Tuhan? Aku membeku, sama sekali tidak mendengar pertanyaan bergurau Ayu barusan…. Mereka sudah menikah? Mereka malah sudah punya dua anak kembar yang ampun sungguh menggemaskan. Aku gemetar ingin menggendong Dian. Anak kecil itu menggeliat dalam pelukan Ayu, tersenyum lebar ke arahku. Aduh, lutuna!
“Kalian…. Kalian menikah?” Hanya itu sepotong kalimat yang keluar dari mulutku lima menit kemudian.
“Tentu saja! Lah, ini anak siapa lagi?” Ayu tertawa. Menyerahkan Dian ke tanganku yang terjulur.
“Maksudku…. Maksudku…. Bukankah Topan….” Aku ragu-ragu melirik Topan. Dian dalam pelukanku jahil menarik syal. Menyeringai menggemaskan.
“Topan sudah berubah!” Ayu tersenyum.
“Bagaimana mungkin?” Aku bahkan tidak menyadari kalau seruanku barusan sama sekali tidak sopan.
“Aku keliru….” Topan yang menjawab, tersenyum lebar kepadaku, “Aku benar-benar menyia-nyiakan cinta Ayu selama ini…. Kau tahu, saat aku akhirnya menyadari betapa besar cintanya, saat itu aku merasa malu sekali….”
Maka berceritalah Topan. Sebulan setelah kepergianku, terjadilah pertengkaran mereka. Pertengkaran yang hebat. Sekali ini Ayu benar-benar tersakiti oleh tabiat Topan. Tega Topan berteriak kalau Ayu hanya “pacar transisi” baginya. Hanya singgah sebentar sebelum mendapatkan cewek lainnya. Transit. Tidak lebih. Tidak kurang. Benar-benar pembicaraan yang menyakitkan. Ayu tersungkur. Kesedihan mendalam. Bahkan hampir memutuskan untuk pergi melupakan Topan.
Tiga bulan berlalu, entah apa pasalnya, Topan sang playboy kelas internasional tertimpa musibah berkali-kali. Mungkin karma dari kelakuannya. Topan jatuh sakit berkepanjangan. Sakit yang serius, bahkan nyaris membunuhnya. Tubuh Topan berubah kurus-kering menyedihkan, wajahnya yang tampan tinggal muka tirus kehilangan cahaya. Dan itu belum cukup, Topan juga kehilangan pekerjaan, kehilangan seluruh materi untuk mengobati sakitnya.
Enam bulan terbaring lemah di rumah sakit, tidak ada satupun gadis-gadis itu yang mengunjunginya. Hanya Ayu. Ayu yang akhirnya tetap yakin, suatu saat Hiu-nya pasti berubah. Ayu yang tetap yakin, cinta yang dimilikinya lebih dari cukup untuk merubah tabiat Topan. Siang-malam Ayu merawat Topan dengan telaten. Merawat dengan penuh kasih-sayang. Merawat tanpa mengharapkan pamrih apapun.
“Malam itu, hampir pukul 02.00, aku terbangun…. Dengan nafas sesak, dengan tubuh sakit…. Sudah lebih tiga bulan aku terbaring tak berdaya di atas ranjang…. Kau tahu, malam itu aku bagai melihat seorang bidadari…. Sungguh! Bagai melihat malaikat cantik yang dikirimkan Tuhan kepadaku!” Topan meneruskan cerita sambil menyeka ujung matanya, memeluk mesra Ayu yang berdiri di sebelah.
“Malaikat cinta itu adalah Ayu yang tertidur…. Ayu yang tertidur di sisiku. Kepalanya ada di atas ranjang. Duduk di kursi plastik. Tangannya menggenggam tanganku…. Ya Tuhan, malam itu aku malu sekali…. Melihat wajah Ayu yang bercahaya oleh cinta…. Bercahaya oleh kesabaran…. Menungguiku siang-malam tanpa lelah…. Ya Tuhan, aku malu sekali….” Topan sekarang benar-benar menyeka ujung matanya. Terharu mengenang kejadian tersebut.
“Sudahlah, tidak usah dibicarakan lagi, yang!” Ayu mendekap mesra, berusaha mengambil bayi kembar dari gendongan Topan (yang sekarang terlihat amat repot. Gimana nggak? Topan sibuk mengendalikan harunya sambil menggendong bayi mereka).
“Sejak malam itu aku baru menyadari betapa keliru aku menterjemahkan cinta-polos Ayu, cinta-tanpa-berharap darinya….” Topan berkata dengan suara tertahan. Menatap lembut wajah Ayu. Begitu menghargai….
Entahlah! Aku sudah tidak mendengarkan lagi ujung kalimat Topan. Otakku mendadak dipenuhi berbagai hal. Ya ampun? Lihatlah mereka. Ternyata aku juga keliru selama ini…. Tentu saja semua orang bisa berubah. Tentu saja cinta yang besar bisa menjadi energi untuk membuat perubahan tersebut. Sumpah itu? Apakah aku akan menarik pemahamanku selama ini? Aku mendesis pelan dalam hati.
Lihatlah, jika demikian adanya, maka hanya aku di antara teman-teman geng cewek kami dulu yang belum menikah…. Hanya tersisa aku…. Sendiri….
“Mari zooplankton kecilku, nggak mungkin kita membuat Dian berdiri lama di sini setelah perjalanan panjangnya, kan….” Topan mendekap mesra istrinya.
Membantu mendorong trolley-ku.
Aku bengong. Hei? Apa barusan.
“Ah-ya, lu belum tahu, Topan sekarang memanggilku dengan zooplankton kecil. Dan gw memanggilnya dengan sebutan Hiu besar!” Ayu yang menjelaskan. Tertawa renyah.
Bah? Aku benar-benar terperangah!
Lantas aku apa? Cillean Filleta? Mahkluk yang tidak memerlukan pasangan untuk be-reproduksi selama hidupnya? Mahkluk yang ditakdirkan jomblo sepanjang usianya? Hiks!
***
by: darwis tere liye :)
Label:
about _______
|
0
komentar
Sabtu, 24 September 2011
kami yang berkenalan secara "tanpa kesengajaan" di sebuah acara, yaitu ospek universitas
kami yang berbeda latar belakang daerah entah mengapa bisa langsung akrab satu sama lain
seperti teman lama yang sudah bertahun tahun gak bertemu
itulah aku, noe, tiyo dan dodi
kami berada di satu universitas dengan fakultas yang berbeda beda
aku di rekam medis, noe kedokteran hewan, tiyo teknik nuklir, dan dodi ekonomi bisnis
kami berada dalam satu naungan yaitu universitas gadjah mada
aku dan noe memang udah sahabatan dari sejak kelas 3 smp
aku bersyukur banget bisa ketemu sama mereka semua, setidaknya aku juga bisa punya sahabat kayak di sekolahku dulu..
halo my new bestfriends
always believe that this relationship will never end :)
kami yang berbeda latar belakang daerah entah mengapa bisa langsung akrab satu sama lain
seperti teman lama yang sudah bertahun tahun gak bertemu
itulah aku, noe, tiyo dan dodi
kami berada di satu universitas dengan fakultas yang berbeda beda
aku di rekam medis, noe kedokteran hewan, tiyo teknik nuklir, dan dodi ekonomi bisnis
kami berada dalam satu naungan yaitu universitas gadjah mada
aku dan noe memang udah sahabatan dari sejak kelas 3 smp
aku bersyukur banget bisa ketemu sama mereka semua, setidaknya aku juga bisa punya sahabat kayak di sekolahku dulu..
halo my new bestfriends
always believe that this relationship will never end :)
Label:
moments :)
|
0
komentar
Lantai sebelas sepi. Nyaris semua penghuninya keluar makan siang, hanya ada dua-tiga orang saja yang masih berkutat di depan komputer masingmasing. Dan salah dua di antaranya adalah gadis dan pemuda yang duduk jauh berseberangan itu. Terpisah oleh meja-meja dan partisi setinggi pundak, juga dispenser dan printer sentral multi fungsi di tengahtengah ruangan.
Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut, disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar memang paras muka masing-masing, tetapi kalian masih bisa dengan mudah memahami gerak tubuh orang di seberangnya.
Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali ke depan, ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri, kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari ini gadis itu ingin berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Tetapi nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pekerjaannya.
Detik demi detik, waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang tinggal tiga puluh menit lagi. “Ayolah, lakukan saja,” bujuk separuh jantungnya. “Bodoh! Kau hanya akan mempermalukan dirimu saja!” separuh jantungnya lagi menyela dengan sinisnya.
Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan keraguannya, akhirnya gadis itu nekad memberanikan diri berjalan menghampiri, toh ia bisa berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati meja pemuda itu jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang lalu, melangkahlah kakinya mendekat.
“Nggak makan siang, Zhar?” gadis itu berusaha menegur senormal mungkin, tersenyum selepas mungkin.
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Balas tersenyum. Menggeleng.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum mengangkat bahu, menanti harap-harap cemas reaksi pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya balas mengangkat bahu,
“Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Begitulah.
Gadis itu sekian detik kecewa, sia-sia sudah, tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain beranjak lemah melangkah menuju pintu keluar. “Seharusnya, si bodoh itu bilang, ‘Ah, kebetulan sekali. Aku juga belum makan. Mau kutemani?’ Dasar bodoh!” umpatnya dalam hati. Atau karena ia kurang jelas menyampaikan maksudnya? Seharusnya ia bilang saja langsung, “Kamu mau menemaniku?” seperti yang seringkali dilakukan Susi saat menggoda manajer lantai sepuluh.
Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya kan? Ia bukan type Susi yang agresif. “Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti,” umpatnya sekali lagi.
***
Berkali-kali ia melirik gadis di seberangnya. Menunggu tak sabaran. “Kapan lagi ia akan turun makan siang?” serunya dalam diam. Apakah ia harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama, seperti yang selalu dianganangankannya? Tidak. Ia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya.
Kegelisahaan pemuda itu semakin memuncak, istirahat siang tinggal tiga puluh menit. “Ayolah, berdiri,” mohonnya dalam-dalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya.
Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please, God!” si pemuda bersorak penuh harap. Tentu saja gadis itu harus melewatinya, karena pintu keluar terletak dekat mejanya.
Suara sepatu gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer, mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua pekerjaannya sudah rampung setengah jam yang lalu. Sedari tadi ia sudah ingin turun makan siang, tetapi seperti dua hari lalu, ia ingin sekali berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing.
Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tidak berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet, bukankah letaknya searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekadar tersenyum menyapanya.
“Nggak makan siang, Zhar?” ternyata gadis itu justru menegurnya, sambil tersenyum.
Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini diluar rencananya, apalagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si pemuda bingung hendak menjawab apa.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekadar menggeleng patah-patah, dan tersenyum dengan muka kebas. “Semoga ia tidak melihat tampang tololku,” keluh pemuda itu dalam hati.
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu.
Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah waktunya, ajak ia makan siang bersama. Bukankah ia “mengundang”mu? Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar tak tahu harus bilang apa. Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir, dan di tengah kegaguan ia justru berkata, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Ya ampun, apa yang telah kukatakan, si pemuda menekuk lututnya. Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan amat anggun hilang dari pandangan.
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan untuk berlibur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak direktur membatalkan rencananya. Lagipula bukankah itu berarti semua orang akan hadir di sana, dan jika semua orang hadir itu berarti pemuda itu juga akan datang. Ia senyumsenyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh harapanharapan.
Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika sedikit beruntung mungkin saja bisa pergi-pulang ke tempat pesta bersama-sama. Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, pemuda itu dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan mejanya sebelum turun pulang) pemuda itu sedikit pun tidak pernah menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana hendak menyinggungnya, jika selama ini mereka sekadar saling ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, “Minggu depan, kamu datang gak ke tempat pernikahan Vania?” tapi ia selalu gagal.
Jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya jika tidak maka musnah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habishabisan meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar kakinya melangkah, “Ya Tuhan, tolonglah….” seru batinnya lirih.
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Kentara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya. Gadis itu membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!”
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God.
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng, pelan berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, “Ya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
“Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali,” umpat gadis itu dalam hati. Jika sudah begini apalagi yang harus dilakukannya?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia.
“Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
Gadis itu hendak mengangkat bahunya: keberatan. Tetapi hatinya yang berkali-kali mengumpat, “Dasar bodoh, harusnya kau melakukannya seperti Andrei. Harusnya kau menyela dan berkata, ‘ia tidak akan pergi bersamamu, ia akan pergi bersamaku’” kesal sekali, dan tanpa disadarinya ia justeru menganggukkan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa, dandan yang cantik.”
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu, sekadar untuk bilang, “Hai, kamu mau pergi bareng aku ke pernikahan Vania, gak?” ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan mengajaknya pergi bersama.
Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku, lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak.
Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu. Bertanya langsung padanya, “Apakah kau mau pergi bersamaku,” tapi berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Sore jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya, jika tidak ia akan menyesalinya seumur hidup. “Lakukan sekarang juga, Zhar,” bisikan itu semakin kencang.
Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan. Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justeru terlihat berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku, please God.” Desak batinnya kuat-kuat. “Jika ia melewatiku, aku berjanji akan menanyakan soal itu,” janjinya untuk kesekian kali.
Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia semakin dekat, dan debar jantungnya semakin kencang. Dengan meneguhkan hati pemuda itu bersiap untuk menyapa,
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Gadis itu sambil tersenyum ternyata lebih dahulu menyapanya. Pemuda itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Menarik nafas dalamdalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” Ya Tuhan, padahal pekerjaan untuk minggu depan pun sudah kurampungkan.
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas. Ayolah katakan. Ajak dia. Ayolah katakan. Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri, bodoh. Bagaimana kalau dia menolak?
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan, pemuda itu mengumpat berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama. Senyuman gadis ini membuatnya sedikit pun tidak bisa berpikir sehat lagi.
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ayolah katakan. Ajak dia. Bukankah ia telah memberikan kode padamu. Sedikit lagi.... tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkeram keras-keras kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu, bentak separuh jantungnya. Dan tanpa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang lain, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia teringat Sinta, mungkin dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit membantu, maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun pemuda itu justeru berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu dengan tetap tersenyum berkata pelan, “Ya, katanya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
Ya Tuhan, kerusakan apa yang telah kuperbuat?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
“Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju,” pemuda itu memohon dalam hatinya. “Jangan sampai kau pergi dengan bajingan ini. Ia playboy kelas kakap, dan kau akan terperangkap.” Tetapi gadis itu justeru tersenyum menganggukan kepalanya.
Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa dandan yang cantik.”
***
Ia mengharapkan pagi ini pemuda itu yang datang menjemputnya. Tetapi justru Andrei yang datang parlente memencet bel. Tak tahu malu, Andrei mengaku sebagai pacarnya. Dan gadis itu dengan terpaksa tersenyum masam menanggapi godaan ibu dan bapaknya, “Akhirnya, anak gadis kami pergi dengan teman lelakinya. Nak Andrei jangan sampai kau membuatnya menangis, loh!” Itu kata ayah gadis itu sambil tersenyum di balik pagar. Dan pemuda playboy ini tersenyum begitu meyakinkan menggandengnya.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi, Susi pun sempat berbisik pelan, “Gila lu, katanya pemalu. Ternyata yang kakap begini berhasil juga lu gaet!” mukanya memerah. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, gadis itu merasa di dahinya seakanakan tertempel baliho besar yang menunjukkan kalau mereka berdua benar-benar pasangan hebat. “Bodoh, seharusnya kaulah yang bersamaku sekarang,” umpatnya dalam hati, mencari sosok pemuda itu dalam keramaian. Dan si bodoh itu ternyata berdiri tak acuhnya di pojok ruangan. Menyendok koktail. Seolah tak peduli kehebohan yang sedang terjadi.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai saat mereka berkumpul, si bodoh ini justeru semakin tak peduli.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu kusut sekali dengan senyum tanggungnya. Berkali-kali ia melirik pemuda itu. “Ya Tuhan, seharusnya yang kau lakukan saat ini memegang kerah Andrei, dan menonjoknya kuatkuat, dasar bodoh, dan bukan justru sebaliknya ikutikutan tertawa.”
Gadis itu tersenyum getir.
***
Pagi ini seharusnya ia-lah yang sambil bersiul datang memencet bel rumah gadis itu. Tersenyum takzim menyapa calon mertua. Tetapi lihatlah, ia justeru kacau berdandan seadanya, memakai kemejakusut dasi-berdebu, berjalan gontai menghidupkan kendaraan, berpikir gadis itu pasti sedang tertawa bahagia bersama playboy kelas kakap itu.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, mereka benar-benar kelihatan seperti pasangan hebat. Gadis itu terlihat tersenyum kemana-mana, mengumbar kebahagiannya. “Begitu mudahkah ia terpikat dengan playboy itu?” dengan masam pemuda itu menyendok koktail di pojok ruangan. Jantungnya pedih sekali.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai ketika mereka berkumpul, gadis itu justeru terlihat tersenyum semakin bahagia. “Ia benar-benar menikmatinya,” bisiknya lirih.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu tersenyum, semakin mengembang. “Bah. Ia sedikit pun sama sekali tidak menatapku,” bisik pemuda itu dalam hening. Berkali-kali melirik mencoba memberikan kode. “Lihatlah aku, Dahlia. Please. Bukankah aku lebih baik darinya? Sesungguhnya apa yang kau cari?” terluka pemuda itu meratap dalam diam. Dan ketika mereka berfoto bersama. Bajingan itu merengkuh lebih erat lagi bahu gadis itu.
Dan ketika semua teman-teman lantai sebelas turun, mereka berdua masih berdiri di sana, berfoto berempat bersama kedua mempelai. Gadis itu sekali lagi tersenyum amat bahagia. “Senyum mempelai wanita saja kalah,” umpat pemuda itu dalam hati. Maka semenjak detik itu, si pemuda dengan jantung tercabik-cabik mengubur dalam-dalam segenap cintanya.
“Cinta memang tak pernah adil,” keluhnya terluka.
***
Extended:
“Hai!” Gadis itu tersenyum.
“Hai!” Pemuda itu juga tersenyum.
Pintu lift menutup pelan. Keheningan kemudian menyelimuti. Tak pernah ada yang bisa mendengar dengung lift bergerak, tetapi bagi mereka berdua yang sedang takzimnya, bekas telapak tangan di kaca lift pun terlihat amat jelas. Si gadis sembunyisembunyi melirik. Si pemuda batuk-batuk kecil berusaha mengendalikan perasaannya. Mereka bertatapan sejenak. Gelagapan bersama.
“E, mau makan di mana?” si pemuda pura-pura merapikan dasinya. Mukanya merah kebas. Ia tahu persis gadis itu selalu makan di basemen itu. Gadis itu juga tahu persis pemuda itu lebih suka makan di lantai satu.
“Lanti satu! Lu, mau makan dimana, Zhar?”
“Basemen!” Ya ampun, ia sungguh tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Basa-basi saling melambaikan tangan, mereka berpisah saat pintu lift terbuka. Berharap seharusnya mereka saat ini justeru sedang bergandengan menuju kafe di menara atas.
Kafe para pencinta.
***
by : darwis tere liye :)
Tetapi entah siapa yang menyusun berbagai halangan tersebut, disengaja atau tidak, mereka berdua tetap masih bisa saling melihat dari sela-sela berbagai barang. Untuk ukuran sejauh itu tidak jelas benar memang paras muka masing-masing, tetapi kalian masih bisa dengan mudah memahami gerak tubuh orang di seberangnya.
Seperti yang sedang terjadi saat ini. Gadis itu melirik berkali-kali ke depan, ia sedang menunggu. Menunggu pemuda itu beranjak berdiri, kemudian turun untuk makan siang. Resah sekali ia. Seperti kemarin, hari ini gadis itu ingin berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing. Tetapi nampaknya pemuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pekerjaannya.
Detik demi detik, waktu berjalan terasa amat lambat. Istirahat siang tinggal tiga puluh menit lagi. “Ayolah, lakukan saja,” bujuk separuh jantungnya. “Bodoh! Kau hanya akan mempermalukan dirimu saja!” separuh jantungnya lagi menyela dengan sinisnya.
Dan setelah sekian menit lagi berkutat dengan keraguannya, akhirnya gadis itu nekad memberanikan diri berjalan menghampiri, toh ia bisa berpura-pura menuju toilet yang memang harus melewati meja pemuda itu jika rencananya terpaksa berubah. Sedikit gugup, seperti hari-hari yang lalu, melangkahlah kakinya mendekat.
“Nggak makan siang, Zhar?” gadis itu berusaha menegur senormal mungkin, tersenyum selepas mungkin.
Pemuda itu mengangkat kepalanya. Balas tersenyum. Menggeleng.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum mengangkat bahu, menanti harap-harap cemas reaksi pemuda itu. Si pemuda ternyata hanya balas mengangkat bahu,
“Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Begitulah.
Gadis itu sekian detik kecewa, sia-sia sudah, tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain beranjak lemah melangkah menuju pintu keluar. “Seharusnya, si bodoh itu bilang, ‘Ah, kebetulan sekali. Aku juga belum makan. Mau kutemani?’ Dasar bodoh!” umpatnya dalam hati. Atau karena ia kurang jelas menyampaikan maksudnya? Seharusnya ia bilang saja langsung, “Kamu mau menemaniku?” seperti yang seringkali dilakukan Susi saat menggoda manajer lantai sepuluh.
Tetapi itu tidak mungkin dilakukannya kan? Ia bukan type Susi yang agresif. “Seharusnya si bodoh itu cukup mengerti,” umpatnya sekali lagi.
***
Berkali-kali ia melirik gadis di seberangnya. Menunggu tak sabaran. “Kapan lagi ia akan turun makan siang?” serunya dalam diam. Apakah ia harus melangkah mendekatinya, lantas mengajaknya makan siang bersama, seperti yang selalu dianganangankannya? Tidak. Ia tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya.
Kegelisahaan pemuda itu semakin memuncak, istirahat siang tinggal tiga puluh menit. “Ayolah, berdiri,” mohonnya dalam-dalam. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya.
Dan akhirnya wanita itu berdiri juga dari tempat duduknya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku. Please, God!” si pemuda bersorak penuh harap. Tentu saja gadis itu harus melewatinya, karena pintu keluar terletak dekat mejanya.
Suara sepatu gadis itu terdengar memenuhi gendang telinganya. Si pemuda dengan segala upaya terus berpura-pura menatap layar komputer, mengisikan sembarang angka ke dalam kotak kosong. Tentu saja semua pekerjaannya sudah rampung setengah jam yang lalu. Sedari tadi ia sudah ingin turun makan siang, tetapi seperti dua hari lalu, ia ingin sekali berpura-pura tidak sengaja berbarengan turun dengannya. Sedikit saling menyapa di lift, lantas sedikit basa-basi sebelum berpisah menuju tempat makan “favorit” masingmasing.
Gadis itu semakin dekat, detak jantung si pemuda semakin kencang. Ia bersiap-siap hendak bangkit dari duduknya. Paling sial jika ia tidak berani mengikutinya, mungkin ia bisa berpura-pura menuju toilet, bukankah letaknya searah dengan pintu lift? Yang penting ia bisa sekadar tersenyum menyapanya.
“Nggak makan siang, Zhar?” ternyata gadis itu justru menegurnya, sambil tersenyum.
Meluncurlah sepuluh kembang api besar di jantung si pemuda. Ini diluar rencananya, apalagi dengan senyum itu. Ya Tuhan, gelagapan si pemuda bingung hendak menjawab apa.
“Masih banyak kerjaan. Kamu sendiri, nggak makan?”
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Sekadar menggeleng patah-patah, dan tersenyum dengan muka kebas. “Semoga ia tidak melihat tampang tololku,” keluh pemuda itu dalam hati.
“Malas. Nggak ada teman turun!” gadis itu tersenyum sambil mengangkat bahu.
Separuh jantungnya sontak berteriak, come on man, sekaranglah waktunya, ajak ia makan siang bersama. Bukankah ia “mengundang”mu? Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar tak tahu harus bilang apa. Senyuman dan kerlingan gadis itu telah mematikan otaknya berpikir, dan di tengah kegaguan ia justru berkata, “Mungkin kamu bisa bareng, Sinta. Kayaknya dia juga belum makan!”
Ya ampun, apa yang telah kukatakan, si pemuda menekuk lututnya. Perutnya tiba-tiba melilit menyesali kebodohannya. Dan gadis itu dengan amat anggun hilang dari pandangan.
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Gadis itu sudah merencanakan untuk berlibur keluar kota, tapi undangan pernikahan anak direktur membatalkan rencananya. Lagipula bukankah itu berarti semua orang akan hadir di sana, dan jika semua orang hadir itu berarti pemuda itu juga akan datang. Ia senyumsenyum sendiri. Otaknya terbungkus oleh harapanharapan.
Setidak-tidaknya di sana ia bisa mencari berbagai alasan untuk duduk di dekatnya. Berbincang tentang apa saja. Dan jika sedikit beruntung mungkin saja bisa pergi-pulang ke tempat pesta bersama-sama. Membayangkannya saja gadis itu sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
Tetapi semenjak undangan itu dibagikan seminggu yang lalu, pemuda itu dalam sedikit kesempatan mereka bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai pemuda itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu pemuda itu membereskan mejanya sebelum turun pulang) pemuda itu sedikit pun tidak pernah menyinggung soal pesta pernikahan. Bagaimana hendak menyinggungnya, jika selama ini mereka sekadar saling ber-hai apa kabar saja. Berkali-kali gadis itu membujuk jantungnya agar berani bertanya, “Minggu depan, kamu datang gak ke tempat pernikahan Vania?” tapi ia selalu gagal.
Jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya jika tidak maka musnah sama sekali harapan itu. Dan setelah bergulat habishabisan meneguhkan diri, gadis itu beranjak mendekati pemuda itu. Gemetar kakinya melangkah, “Ya Tuhan, tolonglah….” seru batinnya lirih.
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Kentara sekali kata-katanya bergetar saking gugupnya. Gadis itu membujuk jantungnya segera tenang. Tersenyum amat kaku. Pemuda itu mengangkat kepalanya, balas tersenyum. Menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!”
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu berdiri sambil diam-diam menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Please, God.
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ya Tuhan, orang bodoh sekali pun tahu apa maksud hatinya. Tetapi pemuda itu hanya menatapnya lamat-lamat, kemudian sambil menggeleng, pelan berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Lumat sudah harapan gadis itu, dengan lemah ia berkata, “Ya, ibunya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
“Dasar bodoh. Bodoh. Bodoh sekali,” umpat gadis itu dalam hati. Jika sudah begini apalagi yang harus dilakukannya?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia.
“Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
Gadis itu hendak mengangkat bahunya: keberatan. Tetapi hatinya yang berkali-kali mengumpat, “Dasar bodoh, harusnya kau melakukannya seperti Andrei. Harusnya kau menyela dan berkata, ‘ia tidak akan pergi bersamamu, ia akan pergi bersamaku’” kesal sekali, dan tanpa disadarinya ia justeru menganggukkan kepalanya. Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa, dandan yang cantik.”
***
Hari ini jum’at. Besok dan lusa libur. Sudah seminggu ini pemuda itu menanti-nanti kesempatan untuk bertemu lebih lama dengan gadis itu, sekadar untuk bilang, “Hai, kamu mau pergi bareng aku ke pernikahan Vania, gak?” ia butuh waktu kurang lebih lima menit untuk berbincang dan mengajaknya pergi bersama.
Dengan hanya bertemu di lift saat berangkat kerja (ia sengaja menunggu di lobby sampai gadis itu tiba), saat makan siang, dan saat pulang kerja (ia sengaja menunggu gadis itu membereskan mejanya sebelum beranjak turun) itu sama sekali tidak cukup untuk membicarakan masalah ini. Apalagi mereka hanya saling ber-hai apa kabar, tersenyum kaku, lantas berdiam diri dalam dengungan suara lift yang bergerak.
Berkali-kali ia membujuk jantungnya untuk mendekati meja gadis itu. Bertanya langsung padanya, “Apakah kau mau pergi bersamaku,” tapi berkali-kali pula ia gagal meneguhkan diri. Sore jum’at semakin senja. Kesempatannya untuk menjadikan mimpi-mimpi itu menjadi nyata semakin tipis. Ia harus melakukannya, jika tidak ia akan menyesalinya seumur hidup. “Lakukan sekarang juga, Zhar,” bisikan itu semakin kencang.
Dan pemuda itu di ujung keputus-asaan akhirnya nekad juga memutuskan. Tetapi saat ia siap berdiri dari duduknya, gadis itu justeru terlihat berdiri dari mejanya. Melangkah menujunya. “Ya Tuhan, semoga ia melewatiku, please God.” Desak batinnya kuat-kuat. “Jika ia melewatiku, aku berjanji akan menanyakan soal itu,” janjinya untuk kesekian kali.
Suara sepatu gadis itu terdengar semakin keras di telinganya. Ia semakin dekat, dan debar jantungnya semakin kencang. Dengan meneguhkan hati pemuda itu bersiap untuk menyapa,
“Hai, Zhar. Kamu lagi sibuk?”
Gadis itu sambil tersenyum ternyata lebih dahulu menyapanya. Pemuda itu kaku seketika. Kata-katanya hilang menyentuh udara. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Menarik nafas dalamdalam.
“Iya nih. Kayaknya aku lembur malam ini!” Ya Tuhan, padahal pekerjaan untuk minggu depan pun sudah kurampungkan.
“Kamu hari minggu datang ke resepsi Vania, gak?”
Gadis itu tersenyum semakin manis. Pemuda itu duduk semakin kebas. Ayolah katakan. Ajak dia. Ayolah katakan. Tetapi separuh jantungnya yang lain gemetar ketakutan. Kau hanya akan mempermalukan diri sendiri, bodoh. Bagaimana kalau dia menolak?
“Belum tahu. Lihat besok. Kamu nggak kesana?”
Ya Tuhan, apa yang telah kukatakan, pemuda itu mengumpat berkali-kali. Seharusnya langsung saja mengajaknya pergi bersama. Senyuman gadis ini membuatnya sedikit pun tidak bisa berpikir sehat lagi.
“Belum ada teman. Malas kalau sendirian!”
Ayolah katakan. Ajak dia. Bukankah ia telah memberikan kode padamu. Sedikit lagi.... tak terlalu susah. Pemuda itu mencengkeram keras-keras kursinya. Apa sulitnya mengatakan itu, bentak separuh jantungnya. Dan tanpa ia sadari, di tengah usahanya membujuk separuh jantungnya yang lain, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia teringat Sinta, mungkin dengan menyela pembicaraan ini dengan kabar soal Sinta akan sedikit membantu, maka tanpa menyadari akibatnya sedikit pun pemuda itu justeru berkata,
“Si Sinta katanya harus menjenguk ibunya!”
Tidak. Ia sama sekali tidak bermaksud menolaknya. Tetapi gadis itu dengan tetap tersenyum berkata pelan, “Ya, katanya sakit, sepertinya aku harus berangkat sendirian.”
Ya Tuhan, kerusakan apa yang telah kuperbuat?
“Hai, Dahlia. Kamu belum punya teman pergi ke pernikahan Vania?” pemuda lain yang dari tadi berdiri membereskan berkas di mejanya, di sebelah mereka, menyela pembicaraan. Gadis dan pemuda itu menoleh serempak ke muasal suara. Andrei, nama pemuda itu, dan ia tersenyum jantan mendekati Dahlia. “Aku juga belum punya barengan. Kamu mau bareng aku? Bagaimana? Nanti aku jemput kamu pagi-pagi ya!”
“Tolonglah. Jangan. Jangan katakan setuju,” pemuda itu memohon dalam hatinya. “Jangan sampai kau pergi dengan bajingan ini. Ia playboy kelas kakap, dan kau akan terperangkap.” Tetapi gadis itu justeru tersenyum menganggukan kepalanya.
Andrei tersenyum senang, sambil memegang bahu gadis itu ia berkata menggoda, “Oke, sayang. Sampai ketemu hari minggu! Jangan lupa dandan yang cantik.”
***
Ia mengharapkan pagi ini pemuda itu yang datang menjemputnya. Tetapi justru Andrei yang datang parlente memencet bel. Tak tahu malu, Andrei mengaku sebagai pacarnya. Dan gadis itu dengan terpaksa tersenyum masam menanggapi godaan ibu dan bapaknya, “Akhirnya, anak gadis kami pergi dengan teman lelakinya. Nak Andrei jangan sampai kau membuatnya menangis, loh!” Itu kata ayah gadis itu sambil tersenyum di balik pagar. Dan pemuda playboy ini tersenyum begitu meyakinkan menggandengnya.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi, Susi pun sempat berbisik pelan, “Gila lu, katanya pemalu. Ternyata yang kakap begini berhasil juga lu gaet!” mukanya memerah. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, gadis itu merasa di dahinya seakanakan tertempel baliho besar yang menunjukkan kalau mereka berdua benar-benar pasangan hebat. “Bodoh, seharusnya kaulah yang bersamaku sekarang,” umpatnya dalam hati, mencari sosok pemuda itu dalam keramaian. Dan si bodoh itu ternyata berdiri tak acuhnya di pojok ruangan. Menyendok koktail. Seolah tak peduli kehebohan yang sedang terjadi.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai saat mereka berkumpul, si bodoh ini justeru semakin tak peduli.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu kusut sekali dengan senyum tanggungnya. Berkali-kali ia melirik pemuda itu. “Ya Tuhan, seharusnya yang kau lakukan saat ini memegang kerah Andrei, dan menonjoknya kuatkuat, dasar bodoh, dan bukan justru sebaliknya ikutikutan tertawa.”
Gadis itu tersenyum getir.
***
Pagi ini seharusnya ia-lah yang sambil bersiul datang memencet bel rumah gadis itu. Tersenyum takzim menyapa calon mertua. Tetapi lihatlah, ia justeru kacau berdandan seadanya, memakai kemejakusut dasi-berdebu, berjalan gontai menghidupkan kendaraan, berpikir gadis itu pasti sedang tertawa bahagia bersama playboy kelas kakap itu.
Semua teman kantor bersuit saat melihat mereka tiba di ruang resepsi. Dengan tingkah laku Andrei yang sangat berpengalaman, mereka benar-benar kelihatan seperti pasangan hebat. Gadis itu terlihat tersenyum kemana-mana, mengumbar kebahagiannya. “Begitu mudahkah ia terpikat dengan playboy itu?” dengan masam pemuda itu menyendok koktail di pojok ruangan. Jantungnya pedih sekali.
Ketika tiba saatnya berfoto, semua teman-teman berkumpul di sebelah panggung, bersiap menunggu MC menyebutkan giliran mereka: lantai sebelas. Ketika olok-olok semakin ramai ketika mereka berkumpul, gadis itu justeru terlihat tersenyum semakin bahagia. “Ia benar-benar menikmatinya,” bisiknya lirih.
“Ah ini dia si Azhar, kamu udah lihat Dahlia kan. Gila, serasi bukan!”
“Seharusnya kau menirunya Zhar. Pendiam, tapi diam-diam bawa gebetan!”
Yang lain tertawa ramai sekali.
“Andrei, kalau lu sedikit saja membuat Dahlia menangis, kutikam kau!” seru seseorang lagi, dan Andrei sambil merengkuh bahu Dahlia tersenyum lebar, seolah menunjukkan, jangankan menangis, membuatnya murung saja takkan ia lakukan.
Gadis itu tersenyum, semakin mengembang. “Bah. Ia sedikit pun sama sekali tidak menatapku,” bisik pemuda itu dalam hening. Berkali-kali melirik mencoba memberikan kode. “Lihatlah aku, Dahlia. Please. Bukankah aku lebih baik darinya? Sesungguhnya apa yang kau cari?” terluka pemuda itu meratap dalam diam. Dan ketika mereka berfoto bersama. Bajingan itu merengkuh lebih erat lagi bahu gadis itu.
Dan ketika semua teman-teman lantai sebelas turun, mereka berdua masih berdiri di sana, berfoto berempat bersama kedua mempelai. Gadis itu sekali lagi tersenyum amat bahagia. “Senyum mempelai wanita saja kalah,” umpat pemuda itu dalam hati. Maka semenjak detik itu, si pemuda dengan jantung tercabik-cabik mengubur dalam-dalam segenap cintanya.
“Cinta memang tak pernah adil,” keluhnya terluka.
***
Extended:
“Hai!” Gadis itu tersenyum.
“Hai!” Pemuda itu juga tersenyum.
Pintu lift menutup pelan. Keheningan kemudian menyelimuti. Tak pernah ada yang bisa mendengar dengung lift bergerak, tetapi bagi mereka berdua yang sedang takzimnya, bekas telapak tangan di kaca lift pun terlihat amat jelas. Si gadis sembunyisembunyi melirik. Si pemuda batuk-batuk kecil berusaha mengendalikan perasaannya. Mereka bertatapan sejenak. Gelagapan bersama.
“E, mau makan di mana?” si pemuda pura-pura merapikan dasinya. Mukanya merah kebas. Ia tahu persis gadis itu selalu makan di basemen itu. Gadis itu juga tahu persis pemuda itu lebih suka makan di lantai satu.
“Lanti satu! Lu, mau makan dimana, Zhar?”
“Basemen!” Ya ampun, ia sungguh tak tahu kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Basa-basi saling melambaikan tangan, mereka berpisah saat pintu lift terbuka. Berharap seharusnya mereka saat ini justeru sedang bergandengan menuju kafe di menara atas.
Kafe para pencinta.
***
by : darwis tere liye :)
Jumat, 23 September 2011
well, sebenernya aku udah punya blog dengan judul yang sama tapi url berbeda, entah kenapa blog yang kemaren itu gak bisa kubuka
dan akhirnya aku buat lagi dengan judul yang sama \o/
kemaren pagi aku ada liat tulisan di jaket salah seorang bapak yang kebetulan aja lewat disampingku pake motor
tulisannya bener bener buat aku ceeeees banget gitu :')
tulisannya gini
dont be afraid and sad, because Allah always be with you
mulailah hari dengan tersenyum dan bersyukur pada Allah :)
dan akhirnya aku buat lagi dengan judul yang sama \o/
kemaren pagi aku ada liat tulisan di jaket salah seorang bapak yang kebetulan aja lewat disampingku pake motor
tulisannya bener bener buat aku ceeeees banget gitu :')
tulisannya gini
dont be afraid and sad, because Allah always be with you
mulailah hari dengan tersenyum dan bersyukur pada Allah :)
Langganan:
Postingan (Atom)
this is me !
- wny
- an unexpected girl. already 23th. a happy wife, unpredict,lovely,care. Already found her travelmate. blog is one of my way to scream out my mind just about everything inside this brain, part of my life, my 2nd diary :')